Infobeken.com, Tangerang Selatan, – Hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok memasuki usia ke-75 pada 13 April 2025. Menyambut momentum ini, PARA Syndicate bersama Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI) menggelar diskusi bertajuk “75 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia–Tiongkok : Membaca Sejarah, Menata Masa Depan” di Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (22/4/2025).
Diskusi menghadirkan tiga narasumber, yakni Azmi Abu Bakar (Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa), Yudil Chatim (Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Beijing), serta Virdika Rizky Utama (Direktur Eksekutif PARA Syndicate/Alumni Beasiswa INTI).
Sejarah Panjang dan Kedekatan Dua Bangsa, Azmi Abu Bakar menegaskan bahwa relasi antara Indonesia dan Tiongkok telah berlangsung sejak abad pertengahan. Ia menyebut beberapa bukti sejarah seperti lonceng dari masa Kerajaan Samudera Pasai dan prasasti di Kanton yang menyebut kontribusi bangsa Sriwijaya dalam pembangunan kuil.
“Hubungan kita dengan Tiongkok itu historis dan sejajar sejak dulu. Jangan sampai kita minder dalam berdiplomasi,” ujar Azmi.
Sistem Pendidikan Tiongkok Dinilai Layak Dicontoh, Yudil Chatim menyoroti kualitas sistem pendidikan di Tiongkok yang dinilai lebih sistematis. Menurutnya, negara di sana mewajibkan lembaga pencetak guru menjamin mutu lulusan.
“Kalau gurunya bermasalah, lembaga pendidikannya ikut bertanggung jawab. Di Indonesia belum ada mekanisme seperti itu,” ujarnya.
Ia juga menyebut pentingnya koneksi antara riset akademik dan kebutuhan pembangunan nasional. “Tiongkok banyak hasilkan paten karena iklim inovasinya hidup. Di sini, banyak riset tak tersambung dengan praktik di lapangan,” tambahnya.
Perlu Arah Baru dalam Hubungan Ekonomi, Sementara itu, Virdika Rizky Utama menyoroti hubungan ekonomi Indonesia–Tiongkok yang masih berfokus pada volume perdagangan ketimbang nilai tambah. Ia mendorong agar hubungan dua negara tidak lagi terjebak pada proyek infrastruktur semata.
“Sudah saatnya Indonesia berpikir strategis dan setara. Kita butuh arah, bukan sekadar jadi penonton atau pengikut,” ujar Virdika.
Ia juga mengkritik arah kebijakan luar negeri Indonesia yang dinilainya minim narasi dan terlalu bersifat simbolis. Keanggotaan Indonesia di BRICS+ menurutnya bisa menjadi peluang strategis, asalkan disertai dengan visi yang jelas.
“Prabowo, misalnya, sibuk bicara investasi ke sana ke sini, tapi tidak membawa narasi kebijakan luar negeri yang konkret. Ini berbahaya dalam jangka panjang,” tegasnya.
Momentum Perubahan ini menjadi perubahan dan diskusi ini menjadi refleksi penting di tengah memanasnya geopolitik global, terutama antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Indonesia diharapkan bisa memainkan peran aktif, independen, dan strategis dengan tetap berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas aktif. (dp)
No Comments